Kiky Kikok
Petikan cinta Tara telah membekas dalam sanubari Pram. Laki-laki
yang telah memanah hati Tara. Memang tak lama, namun sikap yang dilakukan gadis
pujaannya itu telah
meluberkan kebekuan hati Pram.
Entah mengapa memori itu sulit sekali dihapuskan. Begitu besar gaung yang telah ditorehkan. Tara memang
bukan gadis biasa, sifat dan cara berfikirnya jauh sekali dari usianya. Alur pikirnya lebih dewasa dari usia. Bukan pemikiran tentang sesuatu hal yang
negatif akan tetapi hanya hal positif. Pria mana sih yang tidak
larut dalam lontaran argumen Tara, termasuk Pram.
20 Oktober 2011
Hujan turun lebatnya, indra mata hanya bisa memandang satu meter
saja, karena terhalang oleh
derasnya air yang turun. Sosok gadis berjilbab besar turun dari angkot
dengan membawa payung berwarna biru,
begitu anggun. Ia berlari kecil agar tak terkena rintikan air hujan. Walaupun
membawa payung, tak ada perlindungan seratus persen. Gadis itu terus
melangkahkan kakinya tuk menuju
peraduan.
“Tarrrr...” Suara petir menyambar diiringi kilatan cahaya 300 Km/jam.
Tak ada ragu pada diri Tara, ia terus
melangkahkan kaki mungilnya yang ditutupi oleh rok panjang besar yang basah
akibat terjangan hujan deras malam itu. Kurang 5 meter lagi, jauh memang tapi
begitu dekat bagi Tara.
Sampailah, Tara di Gubug peraduan, mungil
sempit, pengap dan terkadang air hujan merembes ke atap yang tak layak lagi
sebagai atap. Namun, bagi Tara semua itu adalah surga di dunia. Surga yang tak
dapat ditandingi oleh kemewahan dan kemegahan istana Barbie. Yah, Tara memang gadis
sederhana, tidak neko-neko. Toh, banyak tawaran untuk memperbaiki rumahnya itu,
tapi dia menolaknya, dengan alasan rumah ini adalah kenangan bersama kedua
orang tuanya. Ayah ibu Tara telah meninggal satu tahun lalu akibat kecelakaan. Tara tidak menyangka
orang yang disayanginya begitu cepat meninggalkannya. Kini, dia jadikan
peristiwa itu sebagai bahan bakar yang akan membakar motivasinya untuk meraih
apa yang mereka inginkan.
“Klek...klek”suara Tara membuka pintu
rumahnya.
Tara langsung bergegas untuk mengganti
bajunya yang basah kuyup. Air mata langit yang menetes begitu derasnya
menjadikan malam–malam beku. Gelap langit detik ini tak hangat gelap malam
menjadi kaku. Tara mencoba merebahkan tubuh mungilnya, akan tetapi matanya tak
bisa terpejam. Tara memang tidak bisa tidur ketika hujan tiba. Dingin menusuk
rapuhnya tulang Tara. Tak tahu sampai kapan sangkar emas ini akan mengurung
Tara dalam kesedihan terdalam.
21 Oktober 2011
Denting waktu fajar telah menyambut asa
penantian Tara. Tepat 19 tahun yang lalu, dunia telah menyambutnya dengan suka
cita. Gelak tawa bahagia menyambutnya. Namun, ada tangis harap mengiringi
langkahnya. Buaian lembut tangan wanita yang berkorban untuk meregang nyawa untuk
membawanya menyambut dunia. Hari–hari Tara penuh rasa suka cita walaupun tak
banyak harta yang dimilikinya.
“Hari ini, aku kembali mengingat memoar
masa lalu, saatnya aku untuk merenungi kembali apa yang telah aku lakukan.”
Renungan hati Tara.
****
25
Oktober 2011
Ditemani sinar mentari Tara menyusuri
jalanan sepi, tanpa nyawa di sana, hanya Tara, malaikat, dan tuhan. Melangkah
dengan tegap menuju gudang ilmu, di sanalah Tara bisa mencari kehangatan hati,
dan kesejukan dalam pikirannya.
Entah mengapa Tara bisa menghabiskan waktu cukup lama disana. Hingga ia tidak
tahu bahwa, diam-diam Pram memperhatikan setiap gerak-gerik. Secara
sembunyi-sembunyi dia juga memotret setiap tindakan Tara.
“Iya, Pram…, ada apa?”
“Tara, kamu hari ini ada kuliah nggak?”
“Nggak ada, ada apa Pram?”
“Bagaimana kalau kita mengerjakan tugas kuliah kita?”
“Baiklah Pram, jam berapa?”
“Sekitar pukul tujuh malam,
bagaimana?”
“Mmm, baiklah.”
***
Kali ini Tara merasakan hal yang belum
pernah ia rasakan. Terlalu lugu dengan bait itu. Sampai-sampai dia terjerumus
dalam madu-madu asmara.
“Tara, mau kemana?”
“Aku mau ke Perpus.”
“Oh, boleh ikut?”
“Ya boleh lah Pram, perpus kan bukan milik
aku.”
“Hehe, kamu bisa juga ya bercanda.”
“Iya, dong.”
Tara belum pernah sebahagia ini. Tertawa
lepas. Kehadiran Pram mampu memberikan warna hidupnya. Ya, pria itu telah
mencuri hatinya. Namun tak berani dia lontarkan karena ketakutan.
***
Sebulan sudah Tara akrab dengan Pram.
Kemanapun Pram pergi Tara selalu diajaknya. Dan kemana Tara pergi Pram
mengikuti. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati. Entahlah. Padahal sebelum
bertemu dengan Pram, Tara selalu menutup diri. Berbicara saja jarang, waktu
luang ia gunakan untuk membaca di perpustakaan kampus.
“Hai,
Tar…” suara Pram berbisik.
“Hai
juga,”
“Nanti
malam ada acara tidak?”
“Mm, nggak
ada.” Sambil membaca buku.
“Kalau
begitu nanti malam datang ke taman ya?”
“Insya
Allah…,”
“Baiklah
aku tunggu.”
***
Sesuai kesepakatan pagi hari tadi. Tara
menemui Pram di Taman kota. Hingga ia bingung harus mengenakan baju yang mana.
Seperti bukan Tara. Setiap hari tara selalu tampil apa adanya. Mengenakan
kerudung berhias bros kupu-kupu dibagian kanan dadanya. Namun kali ini ia semangat
sekali memilih-milih baju. Apakah ini menandakan virus cinta mulai
menyebar di Pikirannya.
Blouse batik bunga berwarna biru telah menghiasi tubuh Tara.
Sepatu putih tak berjinjit mulai dikenakan Tara. Tak lupa hijab dengan bros
kupu-kupu di dadanya. Dengan langkah layaknya prajurit perang yang akan
menghadapi musuh. Cepat dan sigap. Tak sampai 20 menit ia sudah sampai di Taman
kota.
Tara duduk di bangku dekat kolam air
mancur. Ditemani sorot lampu taman. Sembari menunggu kedatangan Pram, ia
menikmati suasana malam hari di kota. Tak lama Pram pun datang dan menepuk
pundak Tara.
“Hai,” ucap Pram.
“Hai juga.”
“Sudah lama?”
“Nggak kok. Sebenarnya kamu mau bicara apa
sih?”
“Mm, masalah tugas kemarin.”
“Oh, tentang tugas kemarin aku juga belum
faham. Kamu bisa jelasin lagi nggak?”
“Ok, kita mulai ya.”
“Baiklah.”
***
Tara merasa tak puas bertemu Pram malam
itu. Serasa ada yang
disembunyikan oleh Pram. ‘Kapan ya cinta itu akan menjemputku?’ ucapnya
dalam hati. ‘Apakah ku lepas hijabku ini?’ ‘Ah, hijab ini membuatku terlihat
buruk’ Hati dan dan logika Tara bertolak belakang..
Demi cinta harus melepas hijab, untuk
menarik perhatian. Apakah ini yang dinamakan cinta. Cinta yang membutakan
segalanya, akan melakukan segalanya demi cinta. Haruskah cinta bersikap seperti
itu. Persepsi cinta yang difikirkan oleh Tara. Tara membuka tumpukan buku dalam kardus di bawah tempat
tidurnya. Ditulisnya alphabet demi alphabet hingga tercipta rangkaian kata yang
menceritakan kisahnya, kisah kegalauannya. Seraya ia berkata dalam hati sembari
memandangi jilbabnya. ‘Jilbabku, aku tak mampu meninggalkanmu, tapi aku
juga tak bisa mendekat dengan Pram, jika ada kamu. Aku risau, aku gundah’.
Pipi Tara dibasahi hujan air mata. Bak air
hujan dikala badai. Tara bersujud kepada pencipta segala pencipta, dia berdoa
meminta petunjuk kepadaNya.
“Ya, Allah, ampunilah, dosa hambamu ini,
hamba bingung, dengan kehidupan hamba sekarang ya Allah. Seruanmu telah ku
jalani hingga saat ini, namun hamba bingung ya Allah antara gejolak jiwa dalam
hati tentang pilihan. Berikanlah petunjukmu ya Allah. Jika dia terbaik untukku
maka dekatkanlah ia denganku, jika tidak, jauhkanlah aku darinya, Amin.”
***
Tidak
terjadi apa-apa pada Tara. Pagi ini Tara bertemu dengan Pram diparkiran kampus.
“Hai,
Tara….” Sapa Pram
“Halo,
tapi alangkah lebih baik mengucapkan salam.” Jawab Tara.
“Oh,
iya.., hehehe.”
“Ok,
aku duluan ya? Assalamualaikum” Tanya Tara
“Ya,
baiklah Tara. Waalaikumsalam.”
Dalam
hati kegundahan kembali, apakah pertemuan tadi jawaban dari doanya ataukah
hanya kejadian biasa. Semenjak Pram masuk dalam kehidupan Tara, ia menjadi
berubah seratus delapan puluh derajat. Hidup sebatang kara di kota yang
terkenal kejam ini, membuat Tara semakin tegar menjalani kehidupan.
“Jika
Pram benar ingin mengenalku lebih dalam, pastilah ia mampu menerima aku apa adanya.
Jika tidak berarti hanya main-main saja. Akan ku pertahankan jilbabku yang
telah menemaniku sedari kecilku. Terima kasih Ya Allah Engkau telah memberikan
jawaban yang tepat untukku.” Ucap Tara dalam hati.
Kiky kikok adalah nama Pena dari Rizki Agustya Putri, Mahasiswi
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Walisongo Semarang.