Tiga Per Empat Jejak
Senja telah
menjemput malam hingga mentari tidak lagi nampak.
Kegelapan ini tak meyurutkan langkah kaki ini untuk terus
melangkah. Dengan gontai aku terus melaju mencapai impian, panggangan hati
menggebu-nggebu untuk ijinkan serat nadi yang musnah di berujuk peraduan. Aku
tersesat sempitnya hiruk pikuk
kehidupan. Aku pergi tidak kembali, aku pulang tanpa bekal di tangan, izinkan aku
untuk menatap sosok wajah yang berjalan dalam lalu lalangya waktu.
Izinkan aku tuk menghadapmu ya Rabb. Apakah
Engkau
tahu hambaMu ini telah tersentak, menghilang tak bersisa hanya jerit tangis
mengaung membaur dalam keheningan malam. Ya Rabb ya Rabbi, aku tidak
sanggup menahan rasa dalam periuk ini.
Saat aku mendengar gemuruh meriam. Mata
tak dapat terpejam. Dan teriakan itu, membangunkanku dari tidurku malam ini. Aku tak kuasa terlelap. Kutengok dapur rumahku, dan aku mencari-cari secuil gandum untuk aku
makan. Namun, bukan gandum yang aku temukan. Tetapi, jasad.
“Ayah… bangun Ayah, Ayah….”
Ketika jumpa aku tak merasakan. Ketika jauh aku
baru merasakan pengorbanan hati yang engkau berikan kepadaku.... Hingga kurangkai kata untuk mengenangmu.
Aku takut kehilangan
Aku takut pergi..
Aku takut...,takut.... Ya Allah ya Rabb...
Kuatkanlah hambamu ini…, kuatkanlah.
Kuatkan…, kuatkan ya Rabb.
Apa yang harus dilakukan?
Apa dan apa.
Hanya pertanyaan saja yang ada dalam otak.
Ya Allah ya Rabb..., aku harus apa
Aku harus bagaimana?
Aku merindumu Ayah.
***
Kala
itu aku mencari dimana ibuku. Ya, ibuku hilang. Aku tak dapat bersua dengannya.
Aku sebatang kara. Hanya kedua malaikat dan Tuhanlah yang menjagaku.
Dan kutuliskan rangkaian kata untuk ibu. Kuterbangkan.
Berharap pesawat itu menemukan siapa penerimanya.
Untuk ibu
Ibu, kemanakah dirimu, ini anakmu
merindukanmu. Ayah telah pergi menghadap illahi. Kini kau pun tinggalkanku
sendiri.
Ibu…
Aku
rindu ibu. Rindu belaianmu. Aku rindu berjualan bersamamu. Aku kangen
gelak tawa lepas bersamu dan ayah.
Ibu…
Kemanakah engkau ? pulangkah Bu, anakmu
ini menantimu.
Salam rindu
Topan.
Angin berhembus kencang. Mengantarkan
pesawat suratku untuk ibu. Menatap
pesanku penuh harap.
***
Peristiwa itu benar-benar terlukis dalam
hatiku. Tak dapat dihilangkan dengan apapun. Aku masih beruntung, tidak menjadi
korban.Ya, nyawaku di selamatkan oleh tetanggaku. Dia merawatku, memberiku
makan. Bahkan ia membelikanku pakaian. Tapi semua itu tidak mampu menghilangkan
lukisan pembunuhan itu, dari pandangan. Semua itu menjadi bayang-bayang setiap
hembusan nafasku.
Pernah,
aku ingin menghapus luka itu. Aku keluar menyapa matahari di pematang sawah.
Tapi angin mengantarkan bisikan. Bahwa ibuku juga telah dibunuh. Seakan
tersambar petir di pagi hari. Aku berlari menjauh dari tempatku, dan
meninggalkan desa itu.
Aku
terus berjalan, mencari dimana ibuku berada. Dan mencari tahu siapa yang telah
merenggut nyawa ayahku secara paksa. Dan jika ibuku telah dibunuh juga,
siapakah yang telah memisahkanku darinya. Aku tidak tahu menahu. Ku lewati
lorong-lorong sempit diantara tebing yang menjulang tinggi.
***
Truk-truk
pengangkut mulai membuat melodi dengan mesin-mesinnya. Gajah besi itu
mengangkut batu-batu kali. Pengepul mulai menyiapkan kertas dan bulpennya untuk
mencatat berapa jumlah muatan yang keluar.
Namun,
tak kutemukan dimana ibuku berada. Kabar burung yang belum tentu kejelasannya
masih mengiang di telingaku. Aku berusaha mencari kebenaran itu. Ah, tapi,
lagi-lagi tak mampu. Ya, jawaban itu masih tersembunyi.
Seperti
mencari harta karun saja aku ini. Seharusnya namanku mampu membuka rahasia di
balik kematian ibuku. Sebelum itu, aku merasa aneh dengan jasad ayahku. Entah
apa yang membuat jasadnya itu seperti ada yang hilang. Dan itu, aku belum juga
tahu.
Sesaat
aku merenung. Saat aku dan keluargaku hidup sederhana. Hasil kerja ayahku,
cukup untuk menghidupi aku dan ibuku. Kami hanya menggunakan sepeda ketika
berpergian. Bahkan untuk liburan saja, aku belum pernah. Ketika itu, aku begitu
bahagia. Sekarang, semuanya telah musnah. Saat aku menemukan rumahku banjir
darah.
Suara
dentuman kerap memekikan telinga. Membuat malam-malamku menjadi singkat. Bayangan
itu semakin kuat dan terus membayangi. Bayang ibuku, ayahku. Senyuman, raut
wajah kesedihan yang tak pernah mereka tampakkan dihadapanku.
Aku
tak mampu melupakannya. Kesedihan itu semakin menyesakkan dada. Senyum dan tawa
tak lagi nampak. Mungkin hanya malaikat dan Tuhan yang menemaniku. Kusempatkan
diri mengenang memori tentang aku, ayah, dan ibu. Begitu riang dan penuh
semangat. Namun, itu hanya intermezzo tuk melepas sesak di dada.
***
Bayangan
itu, selalu menyulut dendam. Dendam kepada sosok yang mengambil nyawa ayah, dan
memisahkannku dari ibuku. Walau aku tak tahu siapa sosok itu. Tapi suatu saat
nanti aku akan tahu. Ya, tahu. Dan aku akan menagih nyawa kepadanya. Dan kan ku
tanyakan pula, dimana ibuku.
Sayatan
didadaku semakin perih dan parah. Ah. begitu sakit. Membuat lampu merah di setiap
pencarianku. Bukan Topan jika aku tak mampu menahan bara dendam yang semakin
membara. Mungkin jika ada telur akan matang dengan bara dendamku. Khayalanku
semakin menjadi.
Nyanyian
gajah besi, menambah riuh bunyi genderang dalam batinku. Ya, genderang perang.
Tapi aku masih bingung dan selalu bertanya-tanya. Siapakah gerangan. Manusia
yang layaknya kanibal. Membunuh, dan menghilangkan salah satu tubuh korbannya.
Niat bena manusia itu.
Sempat
aku bertanya kepada setiap orang yang lewat. Mereka acuh. Tak menaruh ibapun
kepadaku. Mereka hanya berkata, “Tak tahu Nak. Coba kamu tanya kepada yang
lain.” Bertanyalah aku kepada orang lain. Tapi hasilnya nol besar. Semuanta bullshit. Tak ada
yang tahu.
Tanda
tanya semakin besar saja melintas di otakku. Semakin besar dan besar. Membuat
aku rindu pada ayah dan ibuku. Pertanyaan, kembali mucul di otakku. Mengapa
ayahku di bunuh? Dimana ibuku? Apa salah mereka? Semua itu tidak ada yang mampu
mengerti, dan tahu.
Perjalananku
masih sia-sia. Tak ada tujuan yang aku datangi. Kertas kecil yang diberikan
ibu, selalu aku simpan. Dan aku mulai menulis. Satu persatu huruf mulai aku
rangkai. Mendeskripsikan keluh kesahku. Di temani gemuruh gajah besi. Kurangkai
menjadi kalimat-kalimat penuh harap. Ku terbangkan. Ya, berharap ibu
menemukannya, dan menemuiku.
***
Rintik
hujan, mengantarkan suratku kepada ibuku. Terpaan angin menjadi pos kala itu. Tak
perlu perangko dan tak perlu pula alamat yang harus aku cantumkan. Karena aku,
hanya ingin melihat wajah ibu. Ya, wajah ibu.
Wajah
ibu, yang selalu aku rindukan. Rindu begitu dalam. Semenjak peristiwa itu. Aku
tak pernah lagi melihat wajah ibuku. Raut wajah sumringah yang selalu membuat
hatiku dalam kesejukan. Suara ibu agak
garang memang, tapi bagiku, bak sutera. Begitu lembut, dan menenangkan
kerisauanku.
Bayangan
itu, tak pernah hilang dari ingatanku. Walau sesungguhnya aku sering amnesia,
karena benturan waktu kecil. Semoga aku tidak melihat ibuku sama dengan ayahku.
Terbujur kaku dan telanjang.
Aku
berharap aku segera menemukan ibu. Semangatku semakin membara, ketika aku
melihat jejak-jejak yang memberiku petunjuk untuk menemukan aliran darahku.
Menemukan senyum itu kembali. Ingin rasanya ibu melihatku menjadi seseorang
yang dapat ia banggakan.
Ya,
tiga per empat jejak. Jejak yang telah membuat tubuh ayahku menjadi
potongan-potongan. Bak ayam yang akan di masak. Jejak itu, mengingatkanku pada
tragedi bom martil membordir. Kali ini, jejak itu hanya tiga per empat. Bukan
satu. Bukan petunjuk penuh diman tempat ibuku.
“Jejak…
kau …” teriakku.
Kampung Anyar, 2013